|
Kendala Penyebaran Pencak Silat
Oleh: O'ong Maryono
Saat ini penyebaran pencak silat sudah menunjuk angka mencapai 29 negara
di seluruh dunia. Berkat jerih payah perguruan-perguruan bersama-sama
IPSI dengan disokong media cetak dan elektronik dalam usaha penyebaran
informasi pencak silat dapat mendunia. Sepatutnya kita acungkan jempol.
Banyaknya perguruan pencak silat dapat mengembangkan sayap dengan membuka
cabang perguruan di mancanegara dan membuat masyarakat awam terkagum-kagum.
Kini budaya peninggalan nenek moyang kita sudah go international. Perasaan
bangga menyelimuti seluruh anggota perguruan dan menjadi motivasi dalam
berlatih. Indikasi 'kepongahan' perguruan ini, terwujud pula dalam pengakuannya
memiliki banyak anggota dan cabang yang tersebar di mancanegara. Ungkapan
ini nampak di setiap untaian kata yang dituliskan atau diucapakan dalam
media massa.
Namun jika diamati secara cermat kemampuan teknik pesilat dari mancanegara
di beberapa pertandingan pencak silat olahraga dan seni beladiri pada
peringkat sukan dunia, tampak tidak merata. Kualitas pesilat yang bertanding
pada Kejuaraan Pencak Silat Dunia terkesan rendah dan kurang pantas untuk
peringkat internasional. Tim Indonesia pun selalu mengirimkan pesilat
peringkat nasional lapis kedua, sedangkan lapis pertama diprioritaskan
untuk pesta olahraga umum seperti SEA GAMES.
Fenomena kesenjangan teknik ini yang sudah terjadi cukup lama di kalangan
pencak silat dunia sangat menarik untuk diketahui dan dianalisa lebih
lanjut. Bila kita memperhatikan perguruan-perguruan modern yang berfaham
liberal-rasional, ternyata bahwa mereka sangat terbuka untuk pesilat asing.
Atas dorongan rasa bangga, ingin mendapat pujian, sanjungan, perguruan-perguruan
modern pergi mengajar ke luar negeri atau sebaliknya mengangkat orang
asing yang sedang berkunjung keperguruan untuk melihat-lihat menjadi murid.
Lontaran tawaran oleh perguruan dengan kesanggupannya akan memeberikan
pelatihan untuk orang asing tidak disisa-siakan. Cukup membekali pesilat
asing dengan teknik-teknik dasar yang sederhana dan berlatih dalam kurun
waktu sangat singkat, perguruan-perguruan mengangkat dan memberikan diploma
sebagai pelatih di negerinya.
Tindakan perguruan seperti ini tidak menutup kemungkinan, akan menghasilkan
pelatih yang berkualitas rendah. Pengangkatan sebagai wakil perguruan
dengan tidak dibekali pengetahuan pencak silat seutuhnya dan tidak ditindak
lanjuti dengan pengembangan kemampuan diri, niscaya pelatih asing ini
akan menghasilkan pesilat yang tidak seperti kita inginkan.
Sedangkan perguruan-perguruan yang bersifat tradionalpun tidak dapat membantu
menyelesaikan masalah, bahkan sering memperumit dan menjadi penghambat
perkembangan pencak silat. Perguruan-perguruan pencak silat tradisional
dalam tanda kutip tidak memiliki organisasi, sampai saat ini masih dengan
setia mempertahankan keaslian pencak silat. Keutuhan kegiatan ritual yang
berhubungan dengan agama ataupun budaya, hierarki dan prinsip senioritas
masih sangat dominan dan tetap dipertahankan.
Biasanya perguruan seperti ini tidak melakukan kegiatan promosi ke luar
negeri. Namun sering dicari oleh orang asing karena dianggap perguruaan
yang masih kokoh mempertahankan tradisi 'asli' pencak silat. Nama kelompok
perguruan semacam ini di mancanegara dikenal masyarakat, tak ubahnya seperti
perguruan modern lainnya.
Untuk kelompok tradisional ini, perbedaan ras, warna kulit, tradisi dan
budaya menjadi factor penghambat. Pesilat asing yang berminat menjadi
murid atau anggota sulit diterima. Bila diterima, pada peringkat materi
pelajaran tertentu yang merupakan ajaran jurus pamungkas tidak akan diajarkan
dikarenakan rahasia perguruan. Erizal cal Chaniago pendekar Beringin Sakti
di Jakarta mengatakan, sikap kehati-hatian guru terhadap muridnya disampaikan
dalam sebuah pepatah Minangkabau: "Nasaganggam di lepas nan sapinjik
disimpan". Artinya: 'yang segenggam diberikan yang kuncinya disimpan'.
Sikap guru-guru pencak silat tradisional ini dipertegas oleh Ramli pimpinan
Silek Tuo di Bukit Tinggi, kehati-hatian seorang pendekar dikawatirkan
suatu waktu muridnya akan dapat mengalahkan gurunya dengan menggunakan
yang sepinjik tadi. Sementara pendekar Silek Tuo, Mulyadi K.S dan ketua
IPSI Padang Panjang berpendat lain yaitu; Bahwa jurus yang sepinjik tadi
sebetulnya tidak pernah ada, hanya dipergunakan sebagai alasan untuk memperkokoh
status hierarki oleh seorang pendekar agar para murid tetap berlaku hormat
kepadanya.
Kedua macam sikap yang diuraikan di atas dapat dianggap secara indirek
sebagai penyebab utama dari rendahnya mutu pengembangan pencak silat di
luar negeri. Menyimak keadaan di atas, lantas menjadi pertanyaan bagaimana
pencak silat dapat mampu bersaing dengan beladiri lain di luar negeri.
Kedua sikap yang bertolak belakang ini tidak merupakan jawaban positif
dan berkesinambungan agar kita dapat menjawab tantangan era globalisasi
untuk menyebarkan dan memperkenalkan budaya bangsa. Sebagai budaya asli,
jelas pencak silat dapat menjadi kebanggaan sekaligus identitas kepribadian
bangsa. Penulis ingin mengetuk isi hati pendekar muda agar bangkit dan
bersatu padu memikirkan keadaan ini. Melalui studi dan penelitian, kita
dapat menyusun sebuah strategi yang sesuai dengan lingkungan agar pencak
silat berprestasi lebih baik di masa mendatang. Dengan mengadakan inventarisasi
dari berbagai aliran pencak silat, dan mencari ciri khas, menonjolkan
keunggulan dan mengurangi kelemahan pada setiap perguruan, insan-insan
pencak silat di tanah air dapat menghadapi sikap-sikap yang menjadi penghambat
perkembangan. Hanya dengan introspeksi pada diri sendiri kita dapat menguasai
dunia!
back
to main page back to reflections
|