|
Perjalanan
Panjang Ipsi
Kesadaran nasional yang timbul dengan melawan penjajah Belanda membawa
penghargaan baru terhadap pencak silat yang dipandang sebagai salah satu
corak kebudayaan nenek moyang kita atau menurut Presiden Sukarno sebagai
"pusaka turun temurun yang menghiasi serta berguna bagi nusa dan
bangsa Indonesia". Semakin kiat masyarakat kita mencari kebesaran
nasional dan kebudayaan sendiri, semakin kiat pula keinginan untuk memahami
dan mengembangkan pencak silat.
Usaha melihara pencak silat pada masa awal Republik Indonesia memang diperlukan
oleh karena ilmu beladiri khas Melayu ini sedang mengalami krisis. Banyak
perguruan yang tidak berfungsi lagi, dan tidak sedikit tokoh dan pendekar
yang mengasingkan diri dari dunia persilatan. Hal ini disebabkan oleh
ketidakstabilan politik dan ekonomi di negara kita yang baru merdeka.
Pengaruh lain tidak adanya rangsangan dari luar yang dapat mendorong perkembangan
pencak silat. Selama penjajahan Belanda dan Jepang pencak silat mempunyai
peran yang hakiki di masyarakat sebagai sarana serangan dan beladiri,
tetapi dengan perubahan jaman belum ditemukan arti dan fungsi yang sesuai
dengan masa perdamaian.
Dengan timbulnya kesadaran bahwa pencak silat perlu dikembangkan, maka
dipandang penting mendirikan sebuah organisasi yang bersifat nasional
agar dapat membina kehidupan pencak silat di seluruh Indonesia. Cita mulia
ini tidak dapat direalisir dengan mudah, oleh karena banyak perguruan
pencak silat yang masih menutup diri, bersaing atau konflik karena perpecahan.
Kalangan pendekar juga terpisah karena afiliasi partai atau loyalitas
kepada suku yang berbeda. Selain itu masih banyak pendekar yang tidak
mau bekerja sama karena merasa jagoan di daerahnya.
Namun pada akhirnya, ungkapan rasa kecintaan terhadap pencak silat dituangkan
dalam berdirinya satu organisasi yang mengayomi aliran-aliran pencak silat
yang tersebar di Nusantara. Pada tanggal 18 Mei 1948 didirikan Ikatan
Pencak Seluruh Indonesia yang sesudah kurang lebih 25 tahun akan mengganti
nama menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Pada kongres kedua
yang diadakan antara 21-23 December di Yogyakarta diputuskan untuk mengkukuhkan
IPSI dan menyusun Pengurus Besar baru sebagai Ketua Umum Mr. Wongsonegoro
-yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri P Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan (PP dan K, sekarang Depdikbud)-
Wakil Ketua Umum Sri Paduka Paku Alam dan Penulis I Sdr. Rachmad.
Dengan mendirikan organisasi ini diharapkan bahwa pencak-silat dapat digerakan
dan disebarluaskan sampai ke pelosok-pelosok sebagai suatu ekspresi kebudayaan
nasional. Masyarakat juga mengharapkan bahwa pencak silat distandarisasi
agar dapat diajarkan sebagai pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, dan
dapat dipertandingkan dalam even-even olah raga nasional. Sesuai dengan
keinginan tersebut, langkah pertama yang diusahakan IPSI adalah terbentuknya
suatu sistem pencak silat nasional yang dapat diterima oleh seluruh perguruan
yang ada di tanah air. Untuk sementara waktu, diadopsikan sebagai 'standaard-system'
pelajaran pencak silat dasar yang sudah disusun oleh RMS Prodjosoemitro
dan diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah Solo dengan dukungan PP dan
K Balai Kota Surakarta. Hasil dari usaha standarisasi semula ini dapat
diamati pada Pekan Olah-Raga Nasional (PON) ke-I yang diadakan pada tanggal
8-12 September 1948 di Solo. Lebih kurang 1000 anak mengadakan satu demonstrasi
pencak dengan gerakan yang standar dan sinkronis. Pada even olahraga nasional
pertama ini, pencak juga dilombakan sebagai demostrasi dalam kategori
solo dan ganda tangan kosong/senjata, suatu tradisi yang akan terus berlangsung
sampai PON ke-VII di Surabaya pada tahun 1969.
Di tahun-tahun berikut di beberapa daerah juga disusun paket pelajaran
dengan metode-metode baru yang praktis agar pencak silat dapat diajarkan
dengan muda kepada segenap lapisan masyarakat. Misalnya, di daerah Yogyakarta,
pelajaran pencak diberikan melalui gelombang Radio Republik Indonesia
(RRI). Tiap hari Senin, Rabu dan Saptu, pukul jam 6,30 pagi, pemirsa dapat
mendengar instruksi-instruksi gerak oleh pencipta S. Winadi (1951:3).
Sistim-sistim tersebut belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga
peralihan pencak silat dari sarana bela diri menjadi sejenis senam jasmani
memakan waktu yang cukup lama. Tim ahli teknik IPSI yang terdiri dari
pakar-pakar dari berbagai aliran harus mempelajari ratusan kaidah dan
gerak dan mencoba menyatukan mereka tanpa menghilangkan warna-warni yang
khas. Mereka juga harus menyesuaikan sistim pelajaran tradisional pencak
silat yang berpatokan kepada jurus (seri atau kumpulan gerakan) dengan
prinsip olah raga 'modern'. Selain mengalami kesulitan teknis dalam mengembangkan
metode dan sistematika olah raga yang dapat diterima oleh semua pihak,
IPSI juga mendapat resistensi dari kalangan pendekar tradisional yang
enggan menerima pemikiran-pemikiran baru karena tidak menginginkan reduksi
pencak silat hanya kepada satu bentuknya, yaitu olah raga. Mereka khawatir
bahwa aspek integral yang lain, khususnya aspek seni dan aspek spiritual,
akan diabaikan dan tidak dapat dirasakan lagi sebagai unsur-unsur yang
saling terkait dalam satu totalitas sosio-kosmik.
Kesulitan juga datang dari luar dunia pencak silat, karena persaingan
yang ketat dari bela diri impor. Antara 1960-1966, pada waktu terjadi
kemerosotan ekonomi dan politik negara yang menimbulkan ketidakberdayaan
IPSI, karate secara resmi masuk Indonesia dan dengan tangkasnya memasuki
kalangan pelajar dan ABRI. Dari mulanya, karate dan judo dipraktekkan
sebagai olah raga dan dipertandingkan di depan umum. Penerimaan yang positif
terhadap bela diri asing, memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir
dan berbuat lebih baik dalam usaha mengembangkan pencak silat olah raga,
atau seperti ditulis oleh salah satu koran masa itu "kehadiran karate
di Indonesia merupakan cambuk yang benar-benar efektif untuk 'membangunkan'
kalangan pencak dari tidurnya".
Penggeseran konseptual akhirnya terjadi, meskipun beberapa pendekar keberatan
makna pencak silat sebagai unsur kebudayaan dalam arti luas dipersempit
agar aspek olah raga dapat diutamakan. Sesudah 10 tahun lebih IPSI bergantung
pada Kementrian PP dan K pada tahun 1961 dipindahkan ke departmen olah
raga. Sesudah itu dibentuk satu komisi teknis khusus untuk merencanakan
sebuah paket pencak silat olah raga untuk dipertandingkan. Untuk mendapatkan
sistim yang paling effektif diadakan beberapa kali uji coba pertandingan
full body contact.
Pada akhirnya IPSI berhasil memasuki pencak silat sebagai cabang olah
raga prestasi pada PON VIII yang diselenggarakan pada tanggal 4-15 Augustus
1973 di Jakarta. Jumlah daerah yang ikut bertanding 15 dengan jumlah 128
pesilat terdiri dari 106 putra dan 22 putri. Keberhasilan ini akan diulangi
lagi sesudah dua tahun, dengan diadakan kejuaraan nasional pencak silat
olah raga untuk pertama kali di Semarang, pada tanggal 27 April 1975.
Sistim pertandingan yang menggunakan pelindung dada ini, di tahun-tahun
berikutnya akan disempurnakan sampai pada tahun 1980 akan diakui di dunia
internasional dan tetap dipergunakan sampai masa kini.
Berkat kerja keras dan kepeawean pengurus IPSI bermula dari periode kepengurusan
Mr.Wongsonegoro (1948-1973), Tjokropranolo (1973-1978), dan Eddie M. Nalapraya
(1978-1998), serta dukungan pemerintah dan Presiden Republik Indonesia
Suharto sebagai Pembina Utama, IPSI dengan cepat menyebar luas ke dalam
maupun luar negeri. Di dalam negeri, pada tahun 1970an IPSI mendirikan
cabang di tiap wilayah, dan mulai mengorganisir even-even pencak silat
olahraga dan seni pada tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Walaupun
intensitas kegiatan sangat bervariasi antara wilayah, kehadiran IPSI sudah
menjadi bagian dari pemerintahan daerah.
Penyebaran nasional ini diteruskan sejak tahun 1975 ke luar negeri. Menindak
lanjuti upaya ketua terdahulu, yang memulai ekspor sistim pencak silat
olahraga ke negeri seberang Malaysia dan Singapore dengan mendapat sambutan
tangan terbuka, Eddie M. Nalapraya banyak membuat kebrakan-kebrakan baru
dengan memperkenalkan dan menyebarkan pencak silat ke seluruh benua di
dunia. Upaya ini diawali pada tanggal 11 Maret 1980 dengan pembentukan
Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa (PERSILAT) bersama dengan negara
sumber pencak silat, yaitu Malaysia, Singapore dan Brunei Darussalam dengan
tujuan "mengarahkan dan menkordinasikan usaha dan kegiatan melestarikan,
mengembangkan dan menyebarkuaskan pencak silat di seluruh dunia serta
menjadikan pencak silat sebagai sarana untuk membina persahabatan antara
bangsa dan perdamaian dunia". Atas initiatipnya dalam mendirikan
wadah internasional ini, dan sekaligus sebagai pengakuan pada perannya
dalam memelihara pencak silat dunia, Eddie M. Nalapraya terpilih sebagai
Ketua Presidium PERSILAT dibantu oleh Oyong Karmayuda sebagai Sekretaris
Jenderal. Di bawah kemimpinannya anggota PERSILAT terus menambah dan kini
berjumlah 27 negara.
Dengan pembentukan PERSILAT jalan terbuka untuk mengadakan even-even internasional.
Tahun 1982 pencak silat olah raga mulai dipertandingan pada tingkat internasional
dengan Invitasi Pencak silat Internasional yang beberapa tahun kemudian
akan diganti nama menjadi Kejuraan Dunia. Sejak 1987 pencak silat juga
dipertandingkan secara resmi pada SEAGAMES.
Tugas IPSI tetapi belum selesai, karena tuntutan jaman terus bertambah.
Sebagai reaksi kepada dominasi pencak silat olahraga dalam agenda IPSI,
muncul lagi permintaan untuk melengkapi kembali pencak silat dengan memperhatikan
aspek seni dan aspek spiritual. Masyarakat sangat mengharapkan bahwa pencak
silat seni dilestarikan dan jika bisa distandarisasi, agar dapat dipertandingan
pula di even nasional dan internasional -satu permintaan yang sudah mulai
dipenuhi oleh IPSI. Lahirnya pada Kejuaran Dunia di Kuala Lumpur bulan
April 1997 satu pendekatan baru yang mengabungkan pertandingan pencak
silat olahraga, seni-beladiri dan jurus wiraloka sangat membantu upaya
untuk mengembangkan pencak silat secara seutuhnya. Namun, sampai sekarang
belum jelas bagaimana aspek spiritual yang menjadi kekayaan perguruan-perguruan
Nusantara dapat dikelola, dan jika perlu dirasionalisasikan, oleh IPSI.
Dengan begitu cita-cita IPSI belum sepenuhnya tercapai.
Untuk memperkuat organisasinya agar dapat menghadapi tantangan-tantangan
baru dan mengantisipasi perkembangan masa mendatang, IPSI dengan dukungan
Menpora Haryono Isman, baru saja selesai membangun padepokan pencak silat
nasional di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, bersebelahan dengan Taman
Angrek Indonesia. Tanah seluas 5,5 ha adalah sumbangan Almarhumah Ibu
Negara Tien Soeharto. Beliau juga yang meletakan batu pertama pada 27
November 1994 dan memonitor arsitektur kompleks bangunan yang mayoritas
bernafaskan Jawa modern ini. Para pendukung IPSI ini mengharapkan bahwa
padepokan dapat menampung pesilat-pesilat dari mancanegara yang mau mendalami
ilmu pencak silat. Dengan begitu, mereka ingin mengangkat martabat seni
bela diri nenek moyang kita di mata internasional, dan mengonsolidasi
posisi Indonesia sebagai negara pelopor pencak silat. Pencak silat adalah
milik bangsa Melayu namun kenyataannya pencak silat yang menyebar ke seluruh
mancanegara, kebanyakan adalah aliran yang bersumber dari Indonesia. Oleh
karena itu Indonesialah tempatnya di mana khalayak peminat dapat mengetahui
dan meneliti pencak silat sesuai aspek yang dipilihnya.
Bangunan sangat megah yang sudah diangan-angankan oleh para pendekar pencak
silat kini menjadi kenyataan. Sebuah harapan bahwa dengan meningkatkan
pemahaman mengenai pencak silat serta terus-menurus mencari masukan dan
kajian baru, IPSI dapat menjawab masalah-masalah di atas, maupun persoalan-persoalan
lainnya. Sebagai organisasi berskala nasional, IPSI perlu melakukan perencanaan
yang terpadu dan mengaktifkan kembali seluruh bagian organisasi dari pusat
sampai daerah agar dapat mewakili beraneka ragam aliran yang dibinanya.
Mewujudkan semua ini merupakan tantangan bagi para pencinta pencak silat
di bawah bimbingan IPSI agar menyumbangkan kegiatan sesuai dengan disiplin
ilmu yang dimilikinya: alam sudah tersedia bisakah kita memanfaatkannya?
Selamat ulang tahun dan selamat bekerja IPSI!
O'ong Maryono
Peneliti dan pengamat bela diri
back
to main page back to reflections
|